Ketika Dia Harus Pergi

Cerpen : Karya Mei Astoeti, S.Pd.


Senin pagi bulan Desember lapangan bawah madrasah mulai sepi. Dari parkiran, aku bergegas melewati barisan pohon beringin keraton menuju lapangan atas dengan menyapu pandang suasana sekitar. Hujan semalaman menyapu bersih debu hitam asap pabrik dari jalanan dan dedaunan. Cuaca sejuk jadi pembuka kebaikan di awal pekan.Tahun ini begitu menentukan masa depan. Aku sudah kelas 9 yang berarti juga sudah 9 tahun melewati masa anak-anak sampai remaja di sini. Semua berjalan begitu cepat. Saat banyak teman MIN-ku melanjutkan sekolah di luar sana, karena sudah terlanjur PW, aku dan beberapa teman seangkatan masih bersekolah tak jauh dari MIN. Kami memilih MTs Satu Atap Balaraja yang lokasinya berdampingan dengan MIN. 

“Perhatian, komando pasukan saya ambil alih. Semua ketua kelas kembali ke tampat. Siaaaaaap graaak!” 

Suara Hafiz, ketua OSIS yang hari ini bertugas sebagai pinap, membuatku kembali pada sikap sempurna. Sejenak kupandangi reebok si sneakers baru kesayanganku, sport style, penyemangat. Sekejap kulirik barisanku, pasukan Laskar Biru, pengurus OSIS. Mataku mencari-cari Aishawa, sahabat dekatku dari kami masih di kelas 3. Spontan kulihat jam di pergelangan tangan. Pukul 07.05 Aishawa belum ada di barisan. Dia sepertinya terlambat datang. Hm, benarkah? Pada hal ini masih PAS jelang penghabisan. 

Apa yang kupikirkan ternyata itu juga yang dipikirkan beberapa teman di barisan pengurus OSIS. Yara, di sebelah kiriku, sempat menanyakan keberadaan Aishawa. Satu jawaban terdengar seperti petir menyambar tiba-tiba. Jawaban Eriko, di sebelah kananku, membuat kami semua terperangah. Info Eriko tak mungkin mengada-ngada. Dia putra tunggal wali kelasku, bu Meia, sepertinya sedang tidak bercanda. 

“Jangan heboh, ya. Orangnya pindah sekolah.” 
“Beneran???” 
“Cius, kamu???” 
“Tadi pagi pak Haji nelpon mama, ngasih tahu itu” 

Nah, lo! Kenapa justru di hari penting begini, aku baru tahu kalau Aishawa sudah tidak lagi sekolah di sini. Padahal aku begitu dekat dengannya. 7 tahun kami bersahabat. Tapi, aku yang belakangan tahu info ter-up date tentangnya. Tak percaya rasanya, dia mesti pergi begitu tiba-tiba. Baru tiga hari yang lalu aku makan siang, salat zuhur, dan belajar Bahasa Arab di rumahnya. Dia, sebagaimana yang kukenal, selalu ceria. Drama duka tak pernah jadi bahan celotehnya. 

Beberapa orang masih disibukkan dengan pertanyaan terpendam seputar Aishawa. Jika memang benar dia pergi, kelasku akan kehilangan sosok penyejuk dan bunga pemanis kelas. Bahkan, mungkin madrasah ini akan kehilangan penyemaraknya. Bukan hanya cantik, dia juga salah satu duta mading, duta adiwiyata, qoriah, dan vokalis andalan tim marawis madrasah. Aku sebagai duta mading dan jurnalis OSIS, juga yang paling merasa kehilangan sosok desainer pernik-pernik unik. Dari tangannya, maka mading dan pojok baca akan semakin berwarna dan beda. Berkat aksinya, sirih gading dan bambu hoki, tanaman indoor dan outdoor kelas kami selalu segar, subur, hijau terpelihara. Jika selama ini aku dan tim yang lebih bertanggung jawab pada kebersihan sekitar kelas dengan koridornya, maka dia dan tim lebih fokus pada kebersihan tangga dan lantai dua. 

Sebagai tim, dia dan aku seperti bunga dan tangkainya. Kami bagaikan sendok garpu yang selalu saling melengkapi. Kini bunga itu, sendok itu telah pergi. Kubayangkan tanpa dia yang divisi rohis, kegiatan ibadah pagi di bagian saf anak putra bakal ricuh sesekali. Dialah yang paling banyak membantu kegiatan guru piket pada pagi hari. 

“Anak-anak yang bapak banggakan hari ini tidak ada breafing. Selesai apel, semua langsung masuk ruang kelas masing-masing. Bapak dan ibu pengawas sudah bersiap membagi naskah PAS.” 

Suara itu dari pak Hasan Zamin, ketua panitia PAS, menyegerakan langkah semua orang menuju ruang ujian. Di kelas, kupandangi kursi Aishawa, kosong. Mungkin seperti hatiku yang mulai kosong, mengingatkan pada Lintang di Laskar Pelangi. Aishawa dan Lintang adalah bocah paling genius di kelasnya tapi mereka justru yang pertama kali harus hengkang dari sekolah sebelum saatnya. Lintang pergi karena masibah. Aishawa pergi meninggalkan teka-teki. 

Saat Aishawa tak ada dalam pikiran adalah saat berkonsentrasi pada lembar soal IPS. Saat kembali santai maka bayangan Aishawa kembali menyibak daun jendela, daun pintu, dan dinding kelas. Sedang apakah dia? Kumanfaatkan jeda waktu rehat untuk menelponnya. Masih belum terhubung, jari-jariku menari 

mengirim pesan WA. Hanya cek list satu dan sedihnya, dia terahkir onlie kemarin pukul 13.15. 

Usai PAS SBK, jam kedua, segera aku menuju masjid dengan menerobos teman-teman yang masih duduk berkelompok di depan guru pembimbing praktikum ibadah di depan meja piket. Aku ingin salat duha. Semoga bisa bertemu Eriko yang biasa rajin salat duha. Darinya ingin kutanya lebih banyak tentang Aishawa. 

Di masjid ternyata sedang banyak anak MIN berlarian bermain bola kecil. Sebagaian bermain petak umpet. Aku mesti mengingatkan mereka dulu sebelum salatku terganggu. Selesai salat, aku masih bertahan di masjid, berharap bertemu Eriko. Ya, Tuhan, baru aku ingat hari ini dia ada bimbel OSN di kelas pak Bambang. 

Di teras masjid kumainkan musik klasik Beethoven dari games shopee pets. Aku percaya efek musik klasik yang sudah dikenalkan dari aku masih dalam kandungan, dapat memembantu mengasah kecerdasan. Saatnya ngegames sambil berburu koin. Kalau hoki, dapat 5 ribu. Dari permainan trampoline, aku pernah dapat 75 ribu. Kalau ditambah klik voucher, akan jadi tips belanja hemat dan makan enak. 

Udara dingin menggodaku memesan ayam gulai krispy McD. Ya, ampun, ini menu kesukaan Aishawa. Menu krispy fried chiken panas berpadu kuah gulai yang gurih pedas, pas. 

“Assalamu alaikum. Akira, kamu ikut ibu home visit ke Aishawa, ya.” 
“Wa alaikum salam. Siap, Bu.” 

Wah! Bu Meia mengalihkan rencanaku dan denting piano Fur Elise-nya Beethoven. Aku baru sadar kalau bu Meia dengan mukena dan hand sanitizer-nya, juga sedang ada di teras masjid. Beliau tampak tergesa berbenah, disusul berjalan menuju kantor. Aku pun mengikuti. 

Beruntung kebiasaanku bermain games bukan saat belajar di kelas. Kalau tidak, pasti hp sudah disita bu Maia. Begitu kata kak Abyan. Hp kakak kelasku itu pernah dsita lantaran tiba-tiba terdengar nada goyang shopee saat bu Maia sedang menyampaikan materi. 

“Bu, tapi saya lagi gak bawa uang kas.” 
“Gak apa-apa. Itu uang kas buat bayar buku jurnal literasi dulu. Tinggal kelas kita yang belum.” 
“Sebagian anak laki-laki susah bayarnya, Bu.” 
“Nanti ibu bantu ingatkan mereka. Ini tolong kamu bawa parcel buahnya, Ra.” 
“Iya, Bu.” 
“Ok, absen dulu. Saya, pak Ridho, Pak Jend, Bu Juju, Hafiz, Yara, Akira. Yuk, otw kita.” 

Mobil datsun putih milik pak Ridho meluncur ke rumah Aishawa di Bukit Gading. Komposisi rombongan adalah orang-orang yang terkesan paling dekat dengan Aishawa. Pak Ridho, guru pembimbing praktikum ibadah Aishawa. Pak Jend, guru pembina OSIS. Bu Juju, bendahara sekolah, sering kali bisa dekat dengan beberapa siswa. Hafiz, Yara, dan aku mewakilii pengurus OSIS. 

Sepanjang perjalanan kami tiada henti membahas Aishawa. Semua sudut pembicaraan bernada sama. Kami hanya menemukan kebaikan. Aku paling terkesan dengan kelembutan dan bening hatinya. Tujuh tahun aku bersamanya. Dari sekian orang yang pernah kukenal, hanya dia yang hatinya begitu bersih. Meski orang bersikap seperti hujan, badai, petir menggelegar, panas, dan terik padanya, suasana, hatinya tetap selembut kapas. Sebagai teman dekat, tanpa diminta, dia selalu tulus membantu biar bagaimanapun keadaannya. Satu sifat yang sulit dilupakan adalah tidak pernah tersulut amarah dan penyakit-penyakit hati lainnya pada siapapun. Hatinya bagai malaikat. 

“Sampai. Yang mau meliput berita selebrita silakan bergabung dengan tim.” 

Suara Pak Jend, dengan ciri khas rompinya, seumpama sebuah kode. Bahwa suatu hari nanti aku, jurnalis OSIS, mesti membuat tulisan tentang Aishawa. 

Menuju teras rumah Aishawa, hatiku semakin diketuk rasa sepi. Aku mencium aura yang sangat berdeda dari biasanya. Seolah rumah ini sudah tidak berpenghuni. Kutatapi teras rumah dan semua yang tampak dari sana. Bunga-bunga tak seceria biasanya. Entah mengapa, semua jadi asing dan lengang. Mungkin yang lain juga merasa. Meski begitu, kami tetap berusaha menemui penghuni rumah. 

Tipikal rumah di kompleks yang padat memudahkan suara kami sampai pada tetangga sebelah rumah. Seorang ibu paruh baya berjalan tergopoh menghampiri kami. 

“Rombongan dari sekolah Aishawa?” 
“Betul. Maaf, mungkin Ibu tahu. Apa Aishawa, orang tua, atau keluarganya ada di rumah?” 
“Silakah duduk dulu, Bapak, Ibu, dan Adik-adik.” 
“Terima kasih, Bu” 

“Kemarin siang Aishawa sekeluarga pulang ke Lampung. Katanya kalau memang di sana semuanya lebih nyaman, mereka seterusnya bakal tinggal di sana.” 

Dari percakapan kami, hanya sekilas info yang kami dapat. Kami pun undur diri. 

Mengapa Aishawa pergi, masih menjadi teka-teki. Sunyi kembali mengetukngetuk hati. Dari jendela kaca mobil, hujan mengiringi dengan berlari. Hujan, engkaukah yang telah membawa Aishawa pergi dengan rahasia? Sementara badai jelas membawa Lintang hengkang dari sekolah sebelum saatnya. Tiba-tiba kutemukan satu simpul makna. Pada bait sajak Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, ada jiwa Aishawa: 

Tak ada yang lebih arif 
dari hujan bulan Juni 
dibiarkannya yang tak terucapkan 
diserap akar pohonan bunga itu.


----------------------

Lebih baru Lebih lama